Polemik Batas Tanah Hak Ulayat dan Pernyataan yang Kontradiktif ! (Buat Buran Gesi Balawala dan Mustafa Bakir)
(691 Views) March 12, 2018 12:27 pm | Published by AKSI | 1 CommentOleh : Yurgo Purab, Tinggal di Adonara
Polemik mengenai batas tanah hak ulayat Lewotolok kompleks (Desa Amakaka, Tanjung Batu, dan Waowala) dengan Lewulun semakin memanas dari hari ke hari. Tentunya, peristiwa ini berimpak pada ketidaknyamanan situasi warga yang mau berpergian di wilayah-wilayah terdekat. Jika diselisik lebih jauh, sebab utama dari konflik tersebut berasal dari pernyataan sepihak Buran Gesi Balawala, yang mengklaim beberapa daerah di wilayah Kecamatan Ile Ape (Atawatung — Ohe) adalah miliknya. Kelanjutan dari konflik tersebut berawal dari program pemerintah; listrik masuk kampung. Sebenarnya program ini sangat baik untuk menunjang kehidupan warga. Tapi, bagaimana sosialisasi dan komunikasi lanjutan dari pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada warga yang tanahnya dipakai untuk menanam tiang-tiang listrik. Dan untuk hal ini pemerintah sudah menjalankan apa yang menjadi harapan masyarakat.
Masyarakat Lewotolok kompleks yang terdiri dari tiga desa (Amakaka, Tanjung Batu, dan Waowala) bisa saja memberikan tanah untuk memasang tiang-tiang listrik. Tapi, masyarakat hanya butuh klarifikasi atas pernyataan Buran Gesi Balawala, yang dinilai paradoks dan tidak bersinggungan dengan sejarah yang sebenarnya. Selain itu, pemuatan video “sejarah singkat Ile Ape dan Lewoulun” oleh Mustafa Bakir, yang dipublikasikan pada tanggal 14 Februari 2018 lalu, telah menuai banyak kontravensi. Pasalnya, cerita yang disebarkan di youtube tersebut hanya membikin panas dada banyak orang. Cerita tersebut tidak berpatok pada “koda” (cerita sesungguhnya), tetapi lebih dipresumsi kepada “kiring” (versi pribadi), yang tidak berdasar pada fakta dan data yang akuntabel.
Karena itu, hemat saya ucapan Mustafa dan Buran Gesi Balawala lebih kepada versi pribadi dan hanya mengada-ada rekaan cerita dengan narasi seperlunya. Maka hampir dapat dipastikan pernyataan Buran Gesi dan Mustafa Bakir tidak memiliki legalitas penuh serta kesasihan data yang akurat sehingga tidak dapat dipercaya oleh publik terkait dengan sejarah. Karena itu, hemat saya, pernyataan-pernyataan yang digelontorkan oleh Buran Gesi Balawala dan Mustafa Bakir, disinyalir hanya berupa narasi pribadi tanpa mendengarkan cerita penelusuran sejarah dari beberapa tokoh adat, tokoh masyarakat serta guru kunci di beberapa daerah terkait. Seyogianya, jika tidak ada data yang mendukung secara pasti pernyataan mereka, maka Buran Gesi Balawala dan Mustafa Bakir dinilai melakukan pembohongan publik (berbicara ngawur, tanpa dasar) serta merekayasa cerita berdasarkan previlese pribadi.
Berbicara tentang sejarah orang perlu hati-hati, karena cerita tentang sejarah melibatkan emosi serta solidaritas yang dibangun berpuluh-puluh tahun. Karena sejarah bersintuhan dengan pengalaman hidup manusia dari waktu ke waktu.
Penelusuran sebuah sejarah perlu melibatkan pengalaman masa lampau, berpatok pada “koda puken” (pusat dari cerita sesungguhnya). Maka dalam menelusuri sebuah sejarah tentu diperlukan penuturan yang baik dan benar serta bersifat konvensional (kesepakatan bersama). Maka, cerita tentang sejarah perlu digali dan mesti disepakati oleh orang-orang kunci dari beberapa wilayah untuk mengetahui secara pasti kebenaran yang sesungguhnya. “Jika ya, hendaklah kamu katakan : ya, jika tidak hendaklah kamu katakan : tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5:37).
Masyarakat Lewotolok hanya butuh pengakuan batas tanah adat yang diseremonialkan setiap tahun. Dan batas tersebut merupakan hak ulayat. Batas pemerintahan berbeda dengan batas ulayat. Karena itu, perlu pendampingan dari pemerintah untuk mengkawal proses penyelesaian polemik ini secara tegas, sambil memperhatikan kenyamanan serta keselamatan warga masyarakat dari kedua bela pihak. Maka dari itu, pernyataan-pernyataan yang kontradiktif perlu diselisik kembali. Apakah pernyataan ini hanya sebatas ujaran untuk mengganggu kenyamanan sosial? Ataukah pernyataan ini berasal dari pengetahuan Buran Gesi dan Mustafa Bakir terkait sejarah serta penuturan sejak dahulu? Ataukah pernyataan ini memiliki niat dan modus tersembunyi demi kepentingan tertentu.
Berbicara tentang batas tanah hak ulayat, tentu orang memiliki versi berbeda-beda dalam penuturannya. Bahkan tiap kampung pasti memiliki cerita dengan versinya sendiri. Tetapi proses penuturan jangan sampai mengesampingkan “koda puken” (cerita sesungguhnya) yang telah diwariskan sejak dahulu. Masyarakat Lewotolok tentu memiliki suatu gambaran cerita yang cukup lengkap dan komprehensif. Walaupun belum bersifat tertulis, tetapi setidaknya gambaran kisah Hamente sampai muncul nama “Lewotolok Ile Alen Gole” turut mendukung sejarah tersebut. Saya tidak mau menceritakan banyak hal tentang sejarah, tapi suatu waktu kelak sejarah ini akan saya tulis dengan rapi, diseminarkan kepada semua orang dari berbagai desa dengan masukan seperlunya, sebelum dilegitim serta disebarkan kepada seluruh generasi, dengan keberadaan data serta metode penelusuran sejarah yang akurat. Saya tidak mau membeberkan cerita tanpa ujung pangkal yang jelas, bahkan menimbulkan polemik yang tak usai.
Filsuf Ludwig Wittgenstein mengatakan ; “untuk sesuatu yang tak terkatakan orang mesti diam”. Masyarakat Lewotolok tahu cerita, tetapi mereka tidak mau memberikan pernyataan-pernyataan yang terlalu cepat menuding apa yang menjadi haknya. Itu bukan berarti mereka diam. Mereka tahu hak ulayat serta mereka paham betul sejarah. Namun bagi mereka hal-hal ini jika diceritakan ulang tentu membangkitkan suatu persepsi baru bagi publik. Karena itu, masyarakat Lewotolok hanya butuh pengakuan hak tanah ulayat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Itu saja tidak lebih.
Saya tidak mempersoalkan kesepakatan Sumpah Adat di Kiwan Lewo pada sabtu 17 Februari 2018 lalu, yang sudah direncanakan bersama, tapi toh tidak ada kehadiran. Maklum alasan cuaca. Saya juga tidak mempersoalkan pencabutan pilar yang ditanam masyarakat Lewotolok pada beberapa waktu lalu. Tetapi, saya hanya ingin ada kesepakatan bersama “duduk omong” tentang sejarah, agar ada pelusuran yang benar dan terstruktur serta diterima oleh kebanyakan masyarakat.
Membangun kesepakatan adalah sebuah niat baik, tetapi membangun kesepakatan lalu membatalkan sebuah kesepakatan tanpa alasan yang mendetail adalah sebuah penipuan. Saya tidak mau mengatakan penipuan ini bisa jadi terstuktur dan diatur secara masif. Namun, saya menyayangkan tindakan ini. Tapi entalah, harapan saya semoga ini bukan merupakan skenario penipuan yang dibuat-buat untuk memperlambat sebuah proses penyelesaian. Tapi, mari kita sudahi saja yang telah lewat dan membangun komunikasi yang inheren (ke dalam), dengan pihak keamanan, pemerintah, masyarakat, tokoh adat, tokoh agama agar ruang diskusi menjadi timbal balik penyelesaian sebuah persoalan yang baik.
Berhadapan dengan peristiwa ini, kita perlu melihat sejarah masa lampau dengan benar serta menuturkannya kepada anak cucu generasi mendatang agar mereka mendapat warisan sejarah yang tidak direkayasa oleh pihak manapun. Tentu sejarah tersebut perlu disepakati dan mendapat legitimasi oleh beberapa penutur sejarah yang dipandang tahu “koda”. Bukan mengambil tindakan sendiri dengan menceritakan sejarah tanpa memperhatikan dampak universal di tengah solidnya hidup bermasyarakat. Karena itu, setiap penutur sejarah perlu memiliki kebeningan hati, kejujuran budi untuk mengakui secara pasti sejarah yang sebenarnya terjadi. Dengan begitu tercipta kehidupan di atas dasar “koda muren” (cerita yang benar) serta menciptakan “Bonum Commune”. Kalau kita bicara benar, Tuhan menjaga setiap kata, jika kita memanipulasi koda, maka koda akan kembali menggigit leher tuannya. (*)
1 Comment for Polemik Batas Tanah Hak Ulayat dan Pernyataan yang Kontradiktif ! (Buat Buran Gesi Balawala dan Mustafa Bakir)
kalau memberikan pernyataan yg tdk benar bukan provokator…? dipolisikn sj… n klu memang sejarah yg diceritakan beda dgn yg sebenarx (klu tradisi lamaholot disumpah adat sj) yg salah pasti klh sebalikx yg benar pasti menang… hindari konflik lewo dgn lewo